Tradisi Lisan Kias: Gelenyar Budaya di Pesisir Lampung

Serba Indonesia  
Dua orang juru Kias di Lampung, Jamaludin Gr. Raja Minti Gama dan Bun Yamin Dalom Kasim (tengah). (Dokumentasi Tim Kepedulian Masyarakat UI tahun 2022).
Dua orang juru Kias di Lampung, Jamaludin Gr. Raja Minti Gama dan Bun Yamin Dalom Kasim (tengah). (Dokumentasi Tim Kepedulian Masyarakat UI tahun 2022).

Oleh: Alda Ekanael Lamba (Mahasiswi Sastra Indonesia FIB Universitas Indonesia)

DIPLOMASI REPUBLIKA, LAMPUNG--Masyarakat Lampung, terutama yang tinggal di daerah pesisirnya di Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan, mengenal tradisi lisan berupa Kias. Seorang pegiat seni Kias, Jamaludin Gr. Raja Minti Gama, mengungkapkan Kias merupakan seni bertutur yang mengungkapkan nilai rasa sekaligus kisah yang ada di masyarakatnya.

“Kias ini merupakan ungkapan perasaan, hati, dan jiwa yang disampaikan seseorang, baik berupa nasihat, percintaan, peristiwa alam, dan sebagainya,” kata Jamaludin dalam sambutannya di Lampung, Sabtu (1/10/2022). Dia juga menjelaskan bahwa Kias sering kali diciptakan dan dilatunkan secara spontan dalam pertunjukannya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Adapun tradisi Kias memiliki lima jenis, yakni Kias Kulidam, Kias Nasihat, Kias Tandang, Kias Peristiwa, dan Kias Bobacuh yang bersifat Sakral.

Kias Kulidam adalah syair-syair kias yang berkaitan dengan kisah asmara atau kasih taksampai. Kias Nasihat adalah syair kias yang diberikan oleh generasi terdahulu kepada generasi selanjutnya. Ungkapan yang diberikan merupakan pesan-pesan kehidupan.

Kias Tandang adalah syair-ungkapan kias yang biasa digunakan untuk berkunjung yang diberikan sebagai salam kepada tamu undangan ataupun tuan rumah. Sedangkan Kias Peristiwa berisi syair yang berhubungan dengan bencana alam, yang merupakan ungkapan mengenai akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana alam yang pernah terjadi, seperti Kias Krakatau (1883).

Terakhir, Kias Bobacuh yang merupakan kias sakral yang digunakan saat pergantian kepala adat atau tokoh-tokoh adat. Pembacaan Kias Bobacuh bersifat sakral yang biasanya dilakukan selama tiga hari.

Kepala Desa (Jaro) Hendryadi, yang juga merupakan tokoh adat dan pegiat seni tutur Kias, menambahkan, selain Kias nasihat, percintaan, dan peristiwa alam, ada pula Kias pemberian gelar bagi pasangan yang baru menikah. "Kias pemberian gelar bertujuan untuk memberikan gelar adat kepada pasangan yang baru menikah untuk menjadi sapaan sehari-hari," kata Hendryadi.

Para pengantin yang menggunakan acara pernikahan adat khas di Lampung (Dokumentasi Tim Kepedulian Masyarakat UI tahun 2022).
Para pengantin yang menggunakan acara pernikahan adat khas di Lampung (Dokumentasi Tim Kepedulian Masyarakat UI tahun 2022).

Pengantin pria diberikan gelar "Adok", sedangkan pengantin perempuan diberikan gelar "Inai". Namun, sebelum diberikan gelar, pengantin juga diberikan Kias nasihat agar dapat mengasihi satu sama lain dalam berumah tangga. Penulis dan tim diberikan kesempatan untuk menyaksikan langsung Kias pemberian gelar pada acara pernikahan pada Minggu (02/10/2022).

Pesta pernikahan adat masyarakat Lampung (Dokumentasi Tim Kepedulian Masyarakat UI tahun 2022).
Pesta pernikahan adat masyarakat Lampung (Dokumentasi Tim Kepedulian Masyarakat UI tahun 2022).

Seorang juru Kias, Bun Yamin Dalom Kasim, mengatakan bahwa Kias memang digunakan sebagai wahana penyampai kabar, penceritaan kejadian, dan pengekspresian perasaan. Bun Yamin yang bergelar adat Raden Jaksa juga menyatakan signifikansi Kias bagi masyarakat dan kebudayaan Lampung. Menurut dia, sebelum merebaknya musik dangdut, Kias digunakan sebagai wahana yang baik untuk menyampaikan rasa dan ekspresi.

Keunikan dan signifikansi Kias di masyarakat berbanding terbalik dengan kelestariannya. Masyarakat bahkan menjadi acuh tak acuh menyikapi Kias yang hampir punah. Seperti yang disampaikan oleh Syahrial, dosen Universitas Indonesia, bahwa kebudayaan memang pada akhirnya akan punah. "Namun, jangan sampai kepunahan itu disengaja terjadi tanpa ada sikap dari kita sebagai pemilik kebudayaan itu sendiri," katanya menjelaskan.

Keadaan tradisi lisan saat ini dan pentingnya upaya revitalisasi, yang kemudian menjadi perhatian tim dari Program Kepedulian kepada Masyarakat Universitas Indonesia (UI). Salah satunya adalah tim 47 yang terjun langsung ke Kalianda, Lampung Selatan, untuk merevitalisasi tradisi tutur Kias di Desa Palembapang. Tim yang diketuai oleh penulis ini didampingi oleh dosen UI, Dr Syahrial. Kegiatan ini pun berlangsung pada 1–3 Oktober 2022.

 Tim Kepedulian Masyarakat UI Tahun 2022 dan perangkat Desa Palembapang (Dokumentasi pribadi).
Tim Kepedulian Masyarakat UI Tahun 2022 dan perangkat Desa Palembapang (Dokumentasi pribadi).

Program konservasi dan revitalisasi seni tutur Kias ini meliputi, antara lain, pendokumentasian, wawancara terhadap penggiat seni tutur Kias lainnya, seperti Abdul Fatah Gr. Temunggung Jaya Makhga dan Bun Yamin Dalom Kasim Gr. Raden Jaksa, dan berpartisipasi dalam pertunjukan tutur Kias yang berlangsung di acara pernikahan warga setempat.

Diharapkan, program seperti ini dapat memantik semangat generasi muda Indonesia, khususnya muda-mudi Lampung, untuk terus melestarikan seni tutur Kias sebagai salah satu bagian dari warisan tradisi nenek moyang agar tidak hilang tergerus zaman. (rin)

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image