Menyudahi Konflik Palestina-Israel dengan Solusi Dua Negara, Realistiskah? (Bagian I)

Corner  
Warga menginjak spanduk bergambarkan Bendera Israel saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Ahad (12/11/2023). Aksi tersebut sebagai bentuk solidaritas untuk masyarakat Palestina yang masih dilanda konflik perang dengan Israel. (dok. Republika/Putra M. Akbar)
Warga menginjak spanduk bergambarkan Bendera Israel saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Ahad (12/11/2023). Aksi tersebut sebagai bentuk solidaritas untuk masyarakat Palestina yang masih dilanda konflik perang dengan Israel. (dok. Republika/Putra M. Akbar)

YERUSALEM – Solusi dua negara untuk menyudahi konflik Palestina-Israel dalam beberapa waktu terakhir ini kembali digaungkan. Terutama dalam merespons serangan Israel ke Gaza yang dalam tiga bulan terakhir menyebabkan 25 ribu warga sipil Palestina meninggal dunia.

Amerika Serikat (AS) menyatakan tak ada cara untuk menyelesaikan isu keamanan Israel dan mengatasi tantangan membangun kembali Gaza, tanpa adanya negara Palestina merdeka. Demikian pula, Uni Eropa yang mendorong terwujudnya negara Palestina merdeka.

Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak kedaulatan Palestina. Ia menegaskan tak berkompromi atas kendali penuh keamanan Yordan barat dan sikap ini bertentangan dengan pendirian negara Palestina merdeka.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Bagaimana Ide Solusi Dua Negara Bermula?

Konflik muncul di wilayah Palestina yang dikuasai Inggris antara Yahudi yang bermigrasi ke wilayah tersebut dengan Arab yang telah lama ada di sana. Yahudi mencari rumah nasional di tengah persekusi atas diri mereka di Eropa dan merujuk pada kitab suci atas tanah di Palestina.

Pada 1947, PBB setuju rencana pembagian Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab, Yerusalem di bawah pengaturan komunitas internasional. Para pemimpin Yahudi menerima usulan itu yang memberi mereka 56 persen tanah Palestina. Liga Arab tegas menolak.

Negara Israel dideklarasikan pada 14 Mei 1948. Sehari kemudian lima negara Arab menyerang. Perang ini berakhir dengan kemenangan Israel yang kemudian menguasai 77 persen teritorial Palestina. Sekitar 700 ribu warga Palestina mengungsi atau diusir dari rumah mereka.

Mereka berakhir di Yordania, Lebanon, Suriah selain di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur. Pada perang tahun 1967, Israel mencaplok Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur dari Yordania serta Gaza dari tangan Mesir.

Israel mengamankan kendali atas semua wilayah dari Mediterania hingga lembah Yordania. Warga Palestina masih berstatus tanpa negara atau stateless. Mereka berada di bawah penjajahan Israel atau menjadi pengungsi di negara-negara tetangga.

Beberapa di antaranya, kebanyakan keturunan Palestina yang tetap berada di Israel setelah menjadi negara, memiliki kewarganegaraan Israel.

Solusi Dua Negara Nyaris Terwujud?

Solusi dua negara merupakan pondasi proses perdamaian yang didukung AS yang dimasukkan dalam Kesepakatan Oslo 1993, ditandatangani pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin.

Kesepakatan ini membuat PLO mengakui hak Israel untuk eksis, meninggalkan kekerasan, serta pembentukan Otoritas Palestina (PA) dengan otonomi terbatas di Tepi Barat dan Gaza. Palestina berharap ini jalan menuju negara merdeka beribu kota Yerusalem Timur.

Proses ini terkendala oleh penolakan dan kekerasan kedua belah pihak. Hamas menolak proses ini dan melakukan serangan bunuh diri. Kelompok ultranasionalis Israel membunuh Rabin pada 1995 karena menolak proses perdamaian tersebut.

Pada 2000, Presiden AS Bill Clinton membawa Arafat dan Perdana Menteri Israel Ehud Barak bertemu di Camp David guna mencapai kesepakatan damai. Namun, upaya ini gagal. Klaim Israel atas Yerusalem sebagai ibu kota abadi dan tak terbagi jadi hambatan utama.

Pembicaraan damai juga alot mengenai batas-batas negara Palestina, nasib pengungsi Palestina yang semual terusir dari tanahnya sendiri dan Yahudi yang terus berdatangan untuk bermukim di wilayah Palestina yang terjadi sejak 1967.

Konflik mengalami eskalasi saat intifada kedua atau perlawana dimulai. AS berusaha membangkitkan kembali pembicaraan damai. Penjajahan Israel sejak 1967 dan kian luasnya permukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat membuat terwujudnya negara Palestina memudar.

Solusi dua negara menjadi diragukan banyak orang serta memicu ketegangan di kawasan Timur Tengah.

Bakal Seperti Apa Wujud Palestina Nanti?

Para penyokong solusi dua negara membayangkan sebuah negara Palestina mencakup Gaza dan Tepi Barat yang dihubungkan dengan sebuah koridor melalui Israel. Dua dekade lalu, perincian soal ini sudah dimasukkan cetak biru oleh juru runding Palestina dan Israel.

Kesepakatan Jenewa (Geneva Accord) membuka babak baru, prinsipnya mengakui Yerusalem di lingkungan Yahudi sebagai ibu kota Israel dan Yerusalam di lingkungan Arab sebagai ibu kota Palestina, serta demiliterisasi Palestina.

Israel akan menganeksasi permukiman dalam ukuran besar dan menyerahkan lahan lain sebagai tukar guling. Kemudian memukimkan kembali para pemukim Yahudi di luar wilayah kedaulatan Palestina lainnya.

Selain itu, pasukan multnasional bekerja sama dengan pasukan keamanan Palestina memantau perbatasan untuk penyeberangan ke Yordania dan Mesir juga pelabuhan serta bandara.

Presiden AS Joe Biden dan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi menyebut ide demiliterisasi negara Palestina. Ide yang tak pernah secara publik ditolak atau diterima oleh Presiden Palestina Mahmud Abbas. (reuters/han)

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image