Bisnis

Kerusakan Gaza Empat Kali Lebih Besar Dibandingkan Perang 2014

Warga Palestina mencari korban selamat setelah serangan udara Israel yang menargetkan bangunan keluarga Rayan di kamp pengungsi Nusseirat, Gaza, Kamis (15/2/2024).   
Warga Palestina mencari korban selamat setelah serangan udara Israel yang menargetkan bangunan keluarga Rayan di kamp pengungsi Nusseirat, Gaza, Kamis (15/2/2024).

JENEWA – Serangan Israel ke Gaza menyebabkan wilayah Palestina tersebut porak poranda. Bangunan-bangunan publik rusak termasuk rumah sakit. Dengan demikian membutuhkan perbaikan dalam skala besar setelah perang usai nanti.

Badan perdagangan dan pembangunan PBB, UNCTAD menyatakan kehancuran di Gaza akibat serangan militer Israel sangat besar. Gaza membutuhkan Marshall Plan atau program ekonomi berskala besar setelah perang usai.

Ini merujuk pada rencana yang pernah dibuat AS untuk pemulihan ekonomi Eropa setelah Perang Dunia II. Dengan demikian membutuhkan sumber daya yang besar.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dalam laporannya bulan lalu, UNCTAD mengungkapkan, butuh bertahun-tahun untuk memulihkan perekonomian di Gaza seperti sebelum terjadinya perang. Semakin cepat perang usai maka pemulihan bisa semakin cepat dicapai.

Direktur UNCTAD Richard Kozul-Wright di sela sebuah pertemuan PBB di Jenewa, Swiss, Kamis (15/2/2024) menyatakan, kehancuran akibat serangan Israel kali ini empat kali lebih besar dibandingkan tujuh pekan perang yang berlangsung pada 2014.

UNCTAD memperkirakan dibutuhkan 20 miliar dolar AS atau setara Rp 300 triliun dengan kurs Rp 15 ribu per dolar AS. ‘’Kita bicara soal biaya rekonstruksi sekitar 20 miliar dolar AS jika perang berhenti sekarang juga,’’ kata Kozul-Wright.

Estimasi biaya rekonstruksi sebesar itu didasarkan pada citra satelit dan informasi lainnya yang menggambarkan betapa besarnya kerusakan di Gaza. Perkiraan lebih presisi bisa dibuat dengan mengerahkan peneliti masuk ke Gaza untuk menilai kehancuran di sana.

Peringkat kredit diturunkan

Di sisi lain, perang berkepanjangan dengan Hamas melahirkan beban ekonomi dan politik bagi Israel. Demikian diungkapkan lembaga pemeringkat kredit internasional Moody’s Investor Service. Dengan kondisi seperti itu, Moody’s menurunkan peringkat kredit Israel.

Melihat kerusakan ekonomi Israel akibat perang dengan Hamas yang telah menyebabkan 27 ribu lebih warga sipil Gaza meninggal dan memicu ketegangan dunia, Moody’s yang bermarkas di New York, AS akhirnya menurunkan peringkat utang Israel dari A1 ke A2.

Dalam pernyataan Jumat (9/2/2024) waktu setempat, Moody’s menyatakan pendorong utama keputusan ini adalah konflik militer Israel dengan Hamas yang saat ini masih berlangsung serta konsekuensi lebih luas yang secara material memicu risiko politik.

‘’Perang ini juga memperlemah lembaga eksekutif dan legislative serta kekuatan fiskal Israel di masa mendatang,’’ demikian pernyataan Moody’s mengenai keputusan menurunkan peringkat kredit Isarael yang dilansir laman berita CNN.

Peringkat A2 masih mempertimbangkan tingkat investasi, namun penurunan peringkat ini membuat Israel membayar lebih mahal ketika mereka meminjam uang atau berutang. Sebelum putusan Jumat, Moody’s sebenarnya sudah menyampaikan peringatan.

Tepatnya, pada pertengahan Oktober 2003 atau dua pekan setelah serangan 7 Oktober ke Gaza, Moody’s mengingatkan Israel bahwa peringkat kredit mereka dalam bahaya karena ada potensi diturunkan grade-nya.

Saat itu, Moody’s menyatakan profil kredit Israel dalam kondisi rawan akibat konflik militer pada masa sebelumnya, ditambah konflik militer terkini yang bisa saja berlangsung dalam waktu lama serta bakal menimbulkan dampak pada peringkat kredit.

Moody’s menambahkan keputusan pada Jumat, juga merujuk pada proyeksi defisit anggaran Israel sebagai imbas meningkatnya belanja militer mereka. Proyeksinya, belanja pertahanan Israel hingga akhir 2024 dua kali lipat dibandingkan 2022.

Bahkan Moody’s memperkirakan dalam beberapa tahun mendatang belanja pertahanan ini kian melonjak jumlahnya. Memang saat ini proses negosiasi sedang berlangsung mengenai pembebasan sandera oleh Hamas, gencatan senjata, serta bantuan kemanusiaan ke Gaza.

‘’Namun, belum ada kejelasan mengenai potensi keberhasilan negosiasinya, kerangka waktunya, dan seberapa lama kesepakatan itu bisa bertahan,’’ungkap Moody’s. Mereka juga mengingatkan mengenai risiko besar akibat meluasnya konflik saat ini.

Termasuk keterlibatan lebih dalam Hizbullah di Lebanon dalam konflik ini. ‘’Konflik dengan Hizbullah akan melahirkan risiko lebih besar bagi teritori Israel,’’ jelas Moody’s. n reuters/han

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image