Catatan dari Krimea: Naik Pesawat Militer dan Pagar Betis Tentara (1)
Oleh Yeyen Rostiyani
Tulisan ini adalah kilas balik dari kisah yang tersisa dari perjalanan kami saat diundang Civic Chamber of the Russian Federation pada 11-21 Maret. Kami bertugas memantau proses pemungutan suara dalam pemilihan presiden Rusia, 15-17 Maret lalu.
Total, ada sembilan warga Indonesia yang terbang ke Rusia. Mereka adalah wartawan, akademisi, dan aktivitis masyarakat madani.
Setibanya di Moskow pada 12 Maret, kami dibagi-bagi ke beberapa wilayah tugas. Secara keseluruhan, ada sekitar 300 pengamat pemilu yang berasal dari puluhan negara termasuk Indonesia.
Saya dan seorang rekan akademisi Indonesia akhirnya mendapat tugas untuk terbang ke Republik Krimea. Rekan Indonesia lainnya akan terbang ke Republik Tatarstan, Republik Bashkortostan, Volgograd Volgogradskaya Oblast, Luhansk, hingga Krasnoyarsk Krai, sebuah kota administratif yang berada di Siberia. Sungguh pengalaman yang mendebarkan bagi masing-masing peserta.
Bermalam di Vnukovo
Setibanya di Moskow, ratusan pengamat pilpres 2024 ini menginap di sejumlah hotel yang ada di pusat Moskow dan sebagian lagi di Vnukovo, sekitar satu jam dari pusat Kota Moskow. Saya dan rekan saya dari Indonesia mendapat jatah menginap di Hotel Double Tree di Vnukovo.
Ada sekitar 70-80 pengamat pilpres dari berbagai negara yang menginap di Vnukovo. Kami sempat bertanya-tanya, mengapa kami ada di lokasi terpisah yang jauh dari pusat Kota Moskow? Saya menduga, mungkin kami akan terbang dari bandara yang letaknya persis di depan hotel kami, Bandara Vnukovo.
Tibalah Kamis (14/3/2024) pagi, kami diminta check-out dari hotel lalu menaiki bus dan mengangkut seluruh bagasi kami. “Oh, mungkin karena kita beramai-ramai dan membawa koper, jadi harus naik bus meski lokasinya dekat,” batin saya.
Namun, bus ternyata menggelinding ke arah lain. Sungguh, kami tidak tahu akan diantar ke mana. Di sebelah saya, duduk anggota parlemen dari Zambia, Christopher Shakafuswa.
"Saya biasa mengetahui tentang Rusia dari berita online, namun sekarang saya ingin mempelajarinya langsung dari apa yang terjadi di lapangan,” kata Christopher. “Namun, saya tidak berharap terlalu banyak,” ujarnya lagi menambahkan.
Perjalanan bahkan memakan waktu hingga lebih dari satu jam hingga akhirnya kami tiba di lokasi bersalju di pinggiran Moskow. Sejumlah tentara Rusia tampak berlalu lalang. “Lho, kok tidak ada tanda-tanda bandara?” saya kembali membatin.
Kemudian, kami memasuki gerbang yang dijaga ketat. Di sanalah pangkalan udara Chkalovsky, sekitar 31 kilometer dari Moskow.
Rupanya, berbeda dengan rekan-rekan lain yang menginap di pusat Moskow, rombongan kami memang sengaja ditempatkan di Vnukovo karena akan sama-sama terbang ke daerah tujuan dengan pesawat militer. Dengan pesawat itu, kami akan menuju ke lokasi masing-masing termasuk ke Luhanks, Kherson, dan Krimea.
Bus kemudian berhenti dan kami diminta menunggu di sebuah ruangan. Kami masing-masing mendapat selembar kertas biru muda yang dilaminating. Kertas itu bertuliskan hurup Rusia dan tertulis juga dalam bahasa Inggris, Boarding Pass.
Hanya ada kursi-kursi di ruangan bercat krem itu. Benar-benar fungsional.
Dari balik kaca, kami melihat sejumlah pesawat terbang militer terparkir. Sementara salju yang memutih di sekitarnya masih terlihat setebal satu meter. Sayangnya, saya tidak dizinkan memotret karena ini fasilitas militer.
Saya sempat menghela napas berat. Maklum saja, pada saat yang bersamaan, rekan-rekan Indonesia yang sudah berada di tempat lain berkicau riang tentang keindahan lokasi mereka.
Seorang rekan yang bertugas di Kazan bahkan mengirim foto hotel dan pemandangannya yang indah ke group WhatsApp kami. Sementara kami tidak tahu apa yang akan kami hadapi di depan.
Kami kemudian diminta menaiki pesawat militer warna abu-abu yang siap bertugas. Rupanya, kami juga harus memuat sendiri tas-tas kami ke bagian bagasi pesawat. Untunglah, sesama peserta saling membantu, terutama para peserta bule yang bertubuh tinggi dan kuat.
“Kenyamanan bukan hal utama di pesawat militer, namun ini OK. Tidak ada penerbangan komersial ke Krimea,” kata Sergey setengah bercanda.
Sergey dan Ivan adalah dua mahasiswa Rusia yang mendampingi kami. Tugasnya mengalihkan bahasa Rusia dan Inggris untuk kami.
Kami kemudian dipersilahkan memilih tempat duduk masing-masing, tidak ada nomor seat. Sergey benar, kenyamanan bukan hal utama dalam pesawat ini. Saya hanya bisa tersenyum. Hati pun harap-harap cemas.
Pesawat yang sempat menyala, kemudian mematikan mesinnya. Setelah kami siap duduk dan memasang sabuk pengaman, pesawat kemudian menyala kembali dan berjalan menuju jalur landas pacu. Tak sampai satu menit sejak mesin pesawat menyala, roda pesawat sudah terangkat ke udara. Tepat pukul 14.00 waktu setempat. Wow! Kami pun siap bertualang. *
(Bersambung... Nantikan beberapa saat lagi)