Mancanegara

Catatan dari Krimea: Naik Pesawat Militer dan Pagar Betis Tentara (3-habis)

Pemandangan dalam perjalanan dari Krimea menuju Rostov, Senin (18/3/2024).  (Dok. Christopher Shakafuswa)
Pemandangan dalam perjalanan dari Krimea menuju Rostov, Senin (18/3/2024). (Dok. Christopher Shakafuswa)

Oleh Yeyen Rostiyani

Kami sudah menyelesaikan tugas sebagai pengamat pilpres Rusia. Pada 15-17 Maret 2024, kami antara lain sudah mengunjungi 18 tempat pemungutan suara, mengadakan dua konferensi pers, dan sejumlah kunjungan lain.

Kami juga masing-masing melayani permintaan wawancara dengan media setempat. Dengan bantuan penerjemah, wawancara dilakukan dalam bahasa Inggris yang dialihkan ke bahasa Rusia.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Selama di sana, saya beruntung belajar beberapa patah kata Rusia, meski terkadang pelafalannya tak tepat. Setidaknya, kami belajar mengucapkan halo, berterima kasih, dan mengucapkan selamat tinggal dalam bahasa mereka. Kini, kami harus kembali ke Moskow.

Deru mesin pesawat militer terdengar bergemuruh di pangkalan militer Krimea, siap menerbangkan kami kembali ke Moskow, Senin (18/3/2024). Kali ini, tampilan pesawat berbeda dari pesawat yang kami tumpangi dari Moskow ke Krimea. Ukurannya lebih mungil dari pesawat sebelumnya.

Pada hidung pesawat tertera, Tu-134-A. Sedangkan pada ekornya tertulis, RA-65729. Inilah salah satu pesawat legendaris Rusia, Tupolev. Belakangan, seri ini banyak dialihkan untuk pesawat bisnis atau pribadi.

Wah, tampilannya lebih ‘genit’ dibanding pesawat militer sebelumnya,” kata saya kepada seorang rekan.

Rasanya tangan saya gatal ingin memotret. Seorang peserta asal India berkata setengah bercanda, “Bisakah kita berfoto di sini?” Namun, ia tentu tahu jawabannya, karena tidak ada yang boleh memotret fasilitas militer.

Sore itu udara Krimea cerah. Langit pun biru. Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling pangkalan udara.

Sungguh luas. Bahkan di arah depan pesawat, yang terlihat adalah tanah datar yang langsung bertemu langit biru di atasnya. Sore itu angin dingin bertiup kencang, meski matahari bersinar dengan penuh semangat.

Sebelum naik pesawat, kami menanti di bawah tangga. Seperti sebelumnya, kami dikelilingi personel militer Rusia yang lengkap dengan body armour, balaclava, dan senapan laras panjang di depan tubuh mereka. Sementara sejumlah personel lain lalu lalang, ada yang berseragam hijau dan biru lengkap dengan jaket militer dan topi berbulu khas personel Rusia.

Kami pun menaikkan bagasi kami ke bagian bawah pesawat. Lagi-lagi, kami harus melakukannya sendiri. Untunglah tugas itu diambil alih oleh dua penerjemah kami yang memang tinggi dan kuat. Tak terbayang jika saya harus menaikkan sendiri koper merah saya ke bagian perut pesawat setinggi sekitar lima meter itu

Spacibo,” kata kami kepada mereka, ucapan terima kasih dalam bahasa Rusia.

Kami kemudian diminta masuk ke dalam pesawat. Saya cukup tercengang. Benar saja, tampilannya memang beda.

Saat masuk, lapisan dindingnya warna krem dengan motif samar. Relatif lebih mewah, mirip interior jet pribadi yang fotonya saya lihat di internet.

Pada bagian depan, ada dua lajur kursi yang berhadapan di dinding pesawat. Kompartemen berikut, pada dinding kiri terdapat meja dan bangku. Sedangkan di dinding kanan, terdapat tempat duduk memanjang mirip sofa atau tempat berbaring. Barulah bagian berikutnya terdapat kursi pesawat seperti biasa.

Kami pun menuju bagian belakang. Untunglah, kali ini kursi pesawat terasa lebih nyaman dibanding saat penerbangan awal. Belakangan kami baru tahu bahwa pada barisan kursi di bagian depan diisi oleh para tentara berseragam krem.

Setelah menunggu beberapa saat, pesawat pun membawa kami terbang. Selamat tinggal, Krimea!

Kami kemudian mendarat kembali di Rostov, yang semula saya kira Moskow. “Jika tidak ada salju, berarti kita belum sampai di Moskow,” kata anggota parlemen dari Zambia, Christopher Shakafuswa, yang saat itu kembali duduk sebelah saya. Ia pun tertawa.

Ternyata, Rostov memang menjadi titik antar-jemput para pengamat yang bertugas di Luhansk, Kherson, dan sekitarnya. Kali ini, kami menunggu agak lama.

Saya dan rekan bahkan sempat keluar pesawat. Kami ingin menggerakkan kaki, meski untuk keluar dan masuk pesawat kami harus melewati barisan tentara Rusia yang tetap duduk rapi di pesawat bagian depan.

Rombongan yang ditunggu pun tiba. Kami semua naik ke dalam pesawat. Karena pesawat lebih kecil dari sebelumnya, pesawat terasa lebih penuh.

Pukul 19.22 waktu Rostov, mesin pesawat pun mulai menguar. Pesawat mengarahkan badannya dengan anggun, menuju arah tujuan terbang.

Pukul 19.35, pesawat mulai berjalan dan dalam waktu kurang dari satu menit, roda pun terangkat. Kami pun melayang di udara Rostov, dengan hidung pesawat mengarah ke Moskow.

Pukul 21.46, kami akhirnya mendarat di pangkalan udara Moskow yang masih dikelilingi salju. Namun, kami masih belum langsung turun.

Dari jendela bundar di samping saya, terlihat ada tiga kendaraan warna gelap, masing-masing lengkap dengan lampu sirine. Sejumlah orang keluar dari pesawat kami, langsung masuk ke mobil yang kemudian beranjak meninggalkan kami. Rupanya, sejak di Rostov, ada orang penting yang naik bersama kami di pesawat. Itu asumsi saya.

Barulah berikutnya giliran kami yang turun. Tak lupa kami harus mengambil bagasi dari perut pesawat. Selanjutnya, kami berjalan di jalur yang terkadang becek karena salju mulai mencair.

Kami pun siap naik bus, untuk menuju hotel tempat kami menginap. Kami kembali menginap di hotel, tepat di seberang Bandara Vnukovo.

Pengalaman langka

Ada sejumlah perbedaan saat menaiki pesawat militer dan komersial. Di pesawat militer, tidak ada pengumuman yang mengharuskan kami mematikan telepon selular dan tidak ada keharusan menghitung bagasi pesawat.

Tidak ada juga pembatasan cairan yang boleh dibawa. Tak heran jika saya bisa membawa dua botol air mineral ke dalam pesawat berikut sekantung besar makanan untuk buka puasa yang saya bawa dari hotel kami di Krimea.

Di Moskow, saya sempat bertemu warga Indonesia yang sudah lama tinggal di sana. Dialah Laurentius Raymond Jr Pardamean, yang saat ini menjadi dosen tetap di sebuah universitas di Moskow. “Itu kesempatan langka, bisa ke Krimea. Orang Rusia saja belum tentu bisa ke sana, lho!” ujar ahli hukum antariksa yang juga piawai menyanyi ini.

Ucapan itu membuat saya tersenyum. Rupanya, inilah keuntungan saya mendapat kesempatan ke Krimea. Pengalaman saya unik tak terduga. Meski awalnya saya sempat berkecil hati, saya kemudian amat bersyukur. *

(Habis)

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image