Untaian Foto: Matrioska, Jalan Arbat, dan Ekonomi Ala Rusia
Oleh Yeyen Rostiyani
Deretan matryoshka atau matrioska beragam warna tak kuasa membuat mata ini berpaling. Hiasan khas itu dipajang di sebuah toko cendera mata di Jalan Arbat, sudut Kota Moskow, Rusia, pertengahan Maret lalu. Saat itu, saya dan rekan saya, Kartika Sari dari Rakyat Merdeka serta Fauzan al Rasyid dari Russia Today, sedang menjelajahi Arbat. Kami baru saja usai menjalani tugas sebagai pengamat pemilihan presiden Rusia yang digelar 15-17 Maret.
Matrioska adalah boneka kayu yang di dalamnya memiliki boneka-boneka dalam ukuran yang bersusun. Ada boneka di dalam boneka, itu gambaran saya tentang matrioska.
Saya berusaha menahan diri agar tidak buru-buru “mengadopsi” boneka lucu itu. Alasannya, di Indonesia, saya sudah memiliki tiga matrioska, pemberian dari teman-teman asal Rusia. Itu sudah cukup.
Deretan boneka ini mengingatkan saya pada ucapan Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva. Sebelum masa tugasnya di Indonesia berakhir, ia sempat bertemu kami.
“Matrioska adalah simbol perpaduan barat dan timur. Mari saya tunjukkan. Lihat, gambar wanita di boneka kayu ini memakai semacam kerudung yang biasa ditemukan di Asia,” kata sang dubes di kediamannya, saat itu.
Kini di Arbat, saya harus melirik barang lain untuk saya jadikan oleh-oleh saat pulang ke Indonesia. Pilihan klasik pun terpampang. Apalagi kalau bukan syal berbahan kashmir yang lembut dan pernik lainnya.
Tak ketinggalan, saya pun mampir ke toko khusus cokelat dan permen Alyonka yang juga berada di Arbat. Cokelat Alyonka adalah salah satu produk khas Rusia, yang mulai diproduksi pada awal abad ke-19. Inilah cokelat bergambar gadis kecil berpipi merah, mata biru, dan selendang warna-warni di kepala.
Jalan Arbat di Moskow adalah jalur khusus pejalan kaki yang terentang sekitar 1,2 kilometer. Lokasinya ada di jantung Moskow yang bersejarah, tak jauh dari gedung Kementerian Luar Negeri Rusia yang menjulang dengan anggun.
Arbat sarat dengan toko cendera mata dan aneka restoran. Aneka restoran menyajikan makanan Turki, Azerbaijan, hingga aneka gerai yang menyajikan makanan lokal.
Kami memasuki Jalan Arbat dari arah Smolenskaya Street, tak jauh dari kantor Kementerian Luar Negeri Rusia. Arbat yang saya maksudkan adalah Stary Arbat atau Arbat Lama. Bukan Novy Arbat atau Arbat Baru.
Saat menyusuri Arbat, di sebelah kiri terlihat patung logam sastrawan Alexander Pushkin (1799-1837) beserta istrinya. Di belakangnya adalah bekas tempat tinggal sang sastrawan yang kini dijadikan museum. Saat itu, saya leluasa memotret patung itu sendirian. Biasanya, selalu saja ada turis yang ikut berpose di sana.
Dari kejauhan, sebuah lukisan wajah terpampang di salah satu dinding bangunan yang tinggi. Pria ini terlihat memakai seragam militer, lengkap dengan bintang jasa di dadanya. Dia adalah Marsekal Georgy Konstantinovich Zhukov (1896-1974). Ia dikenang sebagai panglima militer tersohor semasa Perang Dunia II.
Menapaki Arbat, kami pun kembali bertemu dengan patung lain. Kali ini, warnanya keemasan. Rupanya, ini adalah patung tokoh opera, Princess Turandot. Lokasinya tepat di depan Vakhtangov Theatre.
Sementara itu tepi jalan, seorang pria setengah baya menunjukkan kebolehannya menyanyi lagu “Delilah” diiringi musik yang disetelnya. Suara dan lagunya terasa menghibur. Di dekatnya, sang bapak pengamen memasang tulisan nomor telepon selular yang bisa dihubungi, jika orang membutuhkan jasanya.
Warisan sejak abad ke-15
Jalan Arbat memiliki sejarah panjang hingga ke abad 15 silam. Saat itu, Arbat dihuni para pedagang besar dan seniman ulung. Pada abad ke-18, kaum elite Rusia kemudian melihat lokasi ini sebagai tempat prestisius untuk ditinggali. Sayangnya, Arbat sempat luluh lantak oleh kobaran api saat Napoleon Bonaparte menduduki Moskow pada 1812.
Russiable menyebutkan, setelah dibangun ulang maka Arbat banyak dihuni oleh para seniman, akademisi, dan kaum bangsawan Rusia. Lokasi ini juga banyak ditinggali oleh para petinggi pemerintahan era Uni Soviet.
Kini, Arbat menjadi salah satu daya tarik turis di Moskow. Atmosfernya khas dan nyaman dilalui para pejalan kaki. Apalagi, jalan ini bebas dari lalu lintas kendaraan sejak 1985. Sesekali motor listrik lewat, lengkap dengan kotak barang di belakang pengemudi. Mereka mirip layanan ojek online di Indonesia yang bertugas mengantarkan barang.
Dalam foto-foto yang saya lihat di internet, Arbat pada masa lalu terlihat selalu ramai dipadati turis. Namun, kini tak banyak orang berlalu lalang di sini. Mungkin inilah dampak dari sanksi kepada Rusia sejak 2014.
Menurut teman kami, Alex Iliutochkin, sanksi membuatnya kesulitan untuk bepergian ke negara lain. Turis semula mengalir deras ke Moskow, kini ibaratnya hanya menetes sejak sanksi dijatuhkan kepada Rusia. Namun, Rusia memiliki tetangga yang membantunya.
“Sekarang ini barang-barang yang tidak kami peroleh dari negara lain, kami dapatkan dari tempat lain seperti China, Uzbekistan, dan Armenia,” kata Alex.
Mungkin, ini berlaku juga untuk turis yang mendatangi Arbat. Sore itu, belasan pria berjaket hitam tampak bergerombol di Arbat. Mereka asyik memperhatikan ucapan yang disampaikan pemimpin rombongan. Wajah mereka oriental, saya menduga mereka berasal dari China.
Beberapa di antara mereka sibuk memotret sudut-sudut Arbat. Bahkan, ada sejumlah orang mencoba berpose di depan toko cendera mata. Toko itu memang menyandingkan dua foto Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping, dalam ukuran sesungguhnya. Orang dapat berfoto dengan berdiri di antara kedua foto itu.
Starbuck ala Rusia
Kami akhirnya menemukan sebuai gerai yang menyajikan kopi dengan lambang yang terlihat akrab. Sekilas, logonya mirip Starbuck, jaringan kedai kopi asal Amerika Serikat (AS). Namun, kali ini namanya Star Coffee.
Siang itu, kami tak berminat untuk mampir mencicipi kopi. Kaki pun terus melangkah menyusuri Arbat. Namun, kemiripan logo kedai kopi itu terus membekas di kepala. Mungkinkah itu Starbuck yang di-Rusia-kan menjadi Star Coffee?
Ternyata, laman BBC melaporkan, Star Coffee mengambilalih gerai Starbuck yang memutuskan tutup pada Maret 2022, lalu menarik diri sepenuhnya dari Rusia pada Mei 2022. Nama Star Coffee kemudian diluncurkan pertama kali pada 18 Agustus 2022, di bekas gerai Starbuck.
Logo kedua gerai kopi ini mirip. Bedanya, logo Star Coffee menampilkan perempuan yang berada di tengah lingkaran tampak memakai ikat kepala tradisional khas Rusia.
Rusia dikenai sanksi dari negara Barat atas aksinya ke wilayah Ukraina. Sejumlah waralaba Barat yang semula menggelar usaha di Rusia pun mendapat tekanan untuk ikut hengkang dari negeri beruang merah itu. Namun, sejumlah sumber yang sempat berbincang dengan saya mengaku tak yakin bahwa gerai-gerai itu benar-benar hengkang dari Rusia.
“Misalnya ada restoran Kentucky Fried Chicken (KFC) yang berubah nama menjadi Rostic’s. Meski nama beda, rasanya tetap sama,” katanya.
Laporan Reuters pada April tahun lalu menyebutkan, perusahaan induk KFC asal AS mengalihkan hak ciptanya kepada Smart Service, waralaba Rusia yang dipimpin Konstantin Kotov and Andrey Oskolkov. Kesepakatan ini meliputi penyesuaian seluruh restoran KFC, sistem operasi, dan merk dagang KFC untuk merk Rostic’s.
"Makanan yang buat sepenuhnya sama degan KFC,” ujar Kotov yang dikutip Reuters.
Namun, sejumlah nama menu mendapat penyesuaian. Twister misalnya, diganti menjadi Chef-Roll. Sementara seluruh pemasok bahan baku tetaplah sama. Maka, tak heran jika rasanya memang tidak berubah. Ini persis seperti yang diungkap narasumber saya: beda nama, namun rasa tetap sama.
Burger King punya kisah berbeda. Hingga pertengahan Maret, saya masih melihat sejumlah logo Burger King di Moskow. Berita BBC pada Oktober tahun lalu memberitakan, waralaba asal Kanada-Amerika ini masih mengoperasikan sekitar 800 gerainya di Rusia.
Ekonomi Rusia dan matrioska
Presiden Vladimir Putin kembali meraih suara terbanyak dalam pilpres yang baru usai digelar, yaitu pada kisaran 87 persen. Kemenangannya diyakini bakal membuat Rusia melanjutkan kebijakan-kebijakannya, termasuk di sektor ekonomi.
Di tengah sanksi berat saat ini, perekonomian Rusia ternyata tahan banting. Laman Le Monde pada 23 Februari 2024 lalu menyebutkan, Januari lalu International Monetary Fund (IMF) menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Rusia menjadi 2,6 persen pada 2024. Perkiraan ini lebih tinggi daripada Oktober lalu yang memprediksi pertumbuhan ekonomi sebesar 1,1 persen tahun ini.
Menurut Euro News edisi 14 Maret 2024, Rusia memang sudah siaga sejak sanksi sebelumnya. Maka saat sanksi lebih berat dijatuhkan, Rusia sudah mempersiapkan diri dengan perang ekonomi.
“Rusia terus melakukan konsolidasi pasar keuangan dan energinya, kemudian berpaling ke sekutu-sekutunya di wilayah timur seperti China,” tulis Euro News.
Salah satunya, saluran pipa Eastern Siberia Pacific Ocean (ESPO) sepanjang 4.188 kilometer. Pipa ini mengucurkan ekspor minyak bumi mentah dari Rusia ke pasar Asia Pasifik seperti China, Jepang, dan Korea Selatan.
Rusia tetap menjadi salah satu pengekspor minyak terbesar di dunia. Apalagi, ia memanfaatkan keputusan Arab Saudi yang memotong ekspor minyaknya demi mempertahankan harga minyak dunia.
Christopher Weafer, CEO Macro-Advisory yang berbasis di Eurasia, mengingatkan bahwa devaluasi 20 persen rubel Rusia terhadap dolar AS sejak 2023 justru mendongkrak pemasukan dari ekspor. Apalagi, ekspor minyak menggunakan dolar AS sebagai referensinya, terlepas dari mata uang yang digunakan saat transaksi.
Rusia memang dikucilkan dari Barat. Namun, negara itu masih punya banyak sekutu yang kuat, seperti para tetangganya yang sebelumnya pernah bernaung di bawah payung Uni Soviet.
Lagi-lagi Euro News menuliskan, “Berkat para mitranya, Rusia masih mungkin melakukan perdagangan dengan Eropa, meski dengan melakukan sejumlah penyesuaian.”
Jalan Arbat di Moskow memang tak seramai dahulu. Namun, perekonomian negeri beruang merah ini terus menggeliat. Perekonomian Rusia mungkin sama misteriusnya dengan matrioska, boneka kayu yang kerap ditawarkan di jalanan bersejarah itu. Rusia menawarkan kejutan-kejutan setiap membuka lapisan-lapisan di dalamnya. Mirip saat membuka matrioska.*