Abah Yayat dan Alunan Keresahan Tarawangsa Sumedang -Tamat

Corner  
Para perempuan berselendang sedang menari dalam pertunjukan Tarawangsa, Sumedang (kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Para perempuan berselendang sedang menari dalam pertunjukan Tarawangsa, Sumedang (kebudayaan.kemdikbud.go.id)

oleh Syahrial*, Pemerhati Warisan Budaya Takbenda, Pakar Filologi Melayu, Dosen Kajian Tradisi Lisan (Budaya Pertunjukan) Universitas Indonesia

Diplomasi.republika.co.id--(menyambung tulisan pertama dari dua tulisan)

Menurut Abah Yayat, pendiri dan pengelola Lingkung Seni Mitra Buhun Cahya Mekar, seni Tarawangsa yang ada di Rancakalong sudah ada sejak abad ke-16. Waktu itu, para wali menggunakannya dalam rangka penyebaran agama Islam. Hingga kini, orisinalitasnya masih tetap terjaga, tidak ada penyelewengan atau modifikasi yang pernah dilakukan, termasuk tarian dan jenis doa-doanya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sebagai media penyebaran agama, tidak heran apabila seni Tarawangsa memiliki filosofi dan simbol-simbol yang merujuk pada keagungan Tuhan. Misalnya, alat musik kecapi dengan tujuh senar menunjukkan jumlah hari dalam satu minggu, sedangkan rebab dengan dua senar menyimbolkan dua kondisi alam, yaitu siang dan malam. Begitu pula lagunya. Tujuh belas pupuh yang dinyanyikan merupakan serangkaian pepatah dan nasihat yang bermakna. Angka 17 itu merujuk pada jumlah rakaat dalam salat lima waktu yang menjadi kewajiban umat Islam.

Kesimpulannya, manusia harus menyadari bahwa dia tinggal di alam dunia yang berisi siang dan malam dengan hari berjumlah tujuh setiap minggunya. Oleh sebab itu, kehidupan di dunia harus diisi dengan ibadah kepada Tuhan dengan cara melaksanakan salat lima waktu sehari semalam dengan total 17 rakaat.

Tarian yang dibawakan oleh hadirin pun tidak asal gerak semata, ada kaitannya dengan aktivitas pertanian. Penari yang biasanya berjumlah 15 orang, terdiri atas sembilan orang laki-laki dan enam orang perempuan, tidak berpegang pada pola gerakan atau pakem tertentu. Tubuh mereka bebas mengikuti irama musik, tetapi tetap haruslah sesuai dengan gerakan-gerakan yang melambangkan dunia pertanian.

Kesenian Tarawangsa diadakan pada malam hari di rumah atau gedung pertemuan. Acara berlangsung sejak jam delapan malam sampai jam tiga dini hari. Para perempuan yang akan menari disepakati mulai jam delapan hingga dan berakhir pada jam 11 malam. Waktu untuk para penari laki-laki adalah sesudahnya, yakni hingga jam tiga dini hari. Pembagian waktu demikian sengaja diambil agar kegiatan berlangsung tertib tanpa mengurangi kemeriahannya.

Kentalnya jiwa magis dalam Tarawangsa tampak dari aneka sesajian aneka makanan dan buah-buahan. Masyarakat Sumedang percaya bahwa aneka sajian itu merupakan semacam kalam tidak tertulis dari Yang Mahaagung bagi manusia, untuk diperlukan secara benar agar melahirkan kesehatan bagi yang memakannya, sekaligus membawa keberkahan bagi semua. Setiap makanan yang dijajakan memiliki nilai pentingnya masing-masing, sehingga tentu tidak bisa disajikan begitu saja.

Dari obrolan panjang sore berhujan itu terungkap adanya semacam keresahan dalam diri lelaki yang mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk seni tradisi Sumedang. Keresahan itu adalah miskinnya perhatian generasi muda.

Abah Yayat dengan nada sedih mengatakan bahwa antusiasme anak-anak muda di daerahnya kurang sehingga seni budaya yang ada seolah mati suri. Masyarakat saat ini juga sedikit yang berminat. Tarawangsa dan sejenisnya dianggap seni yang ortodoks, masa lalu, dan tidak cocok untuk zaman sekarang. Padahal, menurut dia, selama bumi ini tidak bisa diganti, kebudayaan di dalamnya harus juga dilestarikan agar tidak punah.

Keresahan serupa diungkapkan juga oleh Engkus Kusmayati, seorang sejarawan yang banyak menulis mengenai sejarah kerajaan Sumedang Larang dan raja-rajanya. Bagi Bu Engkus, begitu panggilannya sehari-hari, generasi muda sekarang perlu diberi pemahaman bahwa seni tradisi yang ada perlu dilestarikan karena itu jati diri Sumedang.

R. Lucky Djohari Soemawilaga yang kini menjabat sebagai Sri Radia Keraton Sumedang Larang mengungkapkan, Rancakalong sebagai pusat kesenian Tarawangsa harus dijaga kelestarian dan orisinalitasnya. Sebab, dalam sebuah tradisi, selalu ada esensi yang hidup dan memperkaya suatu daerah. Oleh karena itu, menurut dia, para penjaga seni tradisi itu adalah pejuang-pejuang Sumedang. Seni tradisi itu sama dengan candi, sama-sama peninggalan luhur. Seperti halnya mahkota binokasih yang menjadi esensi Sumedang Larang, Tarawangsa atau Kuda Renggong menjadikan jati diri Sumedang menjadi utuh. Saya sangat berterima kasih bahwa di masyarakat Rancakalong, masih ada seniman dan budayawan yang masih istiqamah memberikan waktu mereka untuk melestarikan Tarawangsa.

Dan kepada mahasiswa yang hari itu memenuhi ruang tamu rumahnya, Abah Yayat mengungkapkan harapannya dengan suara lirih. Pada usianya yang sudah tidak muda ini, Abah selalu berdoa kepada Gusti Allah agar berkenan memberi Abah umur panjang supaya seni tradisi tertua Rancakalong ini, bisa terwariskan kepada generasi muda dan mereka dengan ikhlas mau melestarikannya. (tamat) (rin)

*Dosen pendamping Program Kepedulian Masyarakat UI dalam “Pendokumentasian dan Pemetaan Seni Tradisi Kabupaten Sumedang” oleh Ditmawa UI tahun 2021.

* Tulisan kiriman pembaca Diplomasi.republika.co.id. Isi tulisan dan konten sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis

* Kontak kami: diplomasi@rol.republika.co.id

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image