Mengenal Tradisi Pabiola, Pagambusu, dan Pakacapi--2

Serba Indonesia  
Penulis memainkan pabiola bersama pelaku tradisi lisan (foto dokumentasi pribadi).
Penulis memainkan pabiola bersama pelaku tradisi lisan (foto dokumentasi pribadi).

Oleh: Muhammad Fadhly Kurniawan, Peneliti Transkrip Tradisi Lisan Indonesia, Alumnus Kajian Tradisi Lisan (Budaya Pertunjukan) Universitas Indonesia

Tulisan berikut ini merupakan tulisan kedua. Tulisan pertama ada di sini.

Diplomasi.Republika.co.id--Keesokan harinya, kami mendapatkan undangan untuk mengunjungi kediaman Bapak Inca. Akses untuk menuju rumah beliau, dapat ditempuh dalam waktu sekitar 45 menit via Jolloro.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dari sana, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki, menelusuri pematang sawah. Mau tak mau, kami harus melepas sandal bila tidak ingin kaki tenggelam dalam lumpur.

Setiba di teras rumah beliau, kami dihadapkan dengan pemandangan yang sangat indah, hamparan sawah dan bukit. Bukitnya berupa gunung karts yang katanya sudah sangat dekat dengan pabrik bosowa. Kicauan hewan lokal turut membuat kesan alami saat itu.

Sembari menikmati suguhan teh panas, kami mengobrol santai. Kami bertanya mengenai organologi biola yang digunakan Pak Udin selama berkesenian.

Ia menjelaskan secara singkat mengenai instrumennya tersebut. Menurut beliau, kayu yang digunakan merupakan kayu utuh bernama bontang-bontang.

Kerangka pabiola dari kayu bontang-bontang (foto dokumentasi pribadi)
Kerangka pabiola dari kayu bontang-bontang (foto dokumentasi pribadi)

Namun, tak satu pun yang mengetahui nama kayu itu dalam bahasa Indonesianya. Kayu itu diyakini hanya ditemukan di kampungnya.

Secara konstruksi, biola yang dibuat Pak Udin dan Pak Inca hampir persis dengan biola pada umumnya. Yakni, memiliki empat senar—tuning yang digunakan dari senar satu ialah F#, C#, G#, sedangkan pada senar empatnya dikendurkan.

Bentuk pabiola milik salah satu pelaku tradisi lisan (foto dokumentasi pribadi)
Bentuk pabiola milik salah satu pelaku tradisi lisan (foto dokumentasi pribadi)

Sedikit perbedaannya, dapat dilihat pada bodinya yang cukup ramping. Tanpa alas bahu dan dagu. Begitu pun tanpa tuning bagian senar bawah, mungkin pengaruh pengerjaannya yang manual—tanpa menggunakan sampel biola normal.

Kemudian, pada pinggiran head stock dan bodi biola terdapat ukiran atau guratan khas untuk menambah estetis pada biola. Selain itu, cat yang digunakan ialah cat kayu berwarna cherry, mungkin untuk mempertegas warna biola.

Bentuk ujung pabiola (foto dokumentasi pribadi)
Bentuk ujung pabiola (foto dokumentasi pribadi)

Sayangnya, bow yang digunakan masih dipesan dari toko musik di Somba Opu-Makassar. Mereka belum dapat memproduksinya secara mandiri. Baik biola maupun instrumen lainnya dikerjakan paling lama dua minggu untuk satu instrumen musik.

Pewarisan tradisi

Mereka mengakui, pengetahuan mengenai kesenian didapatkan sejak remaja. Pamannya Pak Udin, yang dahulu pernah menjadi ‘gerombolan’ di desa, mengajari mereka soal kesenian.

Menelisik sejarah di Sulawesi selatan, pada sekitar tahun 50-an terjadi peristiwa pergolakan politik identitas yang melibatkan banyak kontekstual, termasuk lahirnya istilah ‘gerombolan’. Mereka diketahui hidup secara nomaden di pedalaman desa-desa.

Menurut saya, pamannya Pak Udin sepertinya pernah termasuk lingkaran seniman Makassar pada era tersebut. Tetapi, perlu ada penelisikan lebih lanjut mengenai hal itu.

Ilmu kesenian yang diwariskan hanyalah pada kesenian tutur biola, gambusu, dan kacapi. Warisan inilah yang dirawat baik oleh Pak Udin dan Pak Inca sampai hari ini.

Setelah beranjak dari rumah Bapak Inca, kami kembali ke Rumah Kedua. Kami hendak membahas kondisi seniman dan keberlangsungan ekosistem kesenian di Desa Salenrang bersama kak Iwan.

Ternyata, sangat besar harapan kak Iwan dan masyarakat setempat terhadap pengadaan sanggar seni di kampung mereka. Mereka masih ingin mempertahankan warisan budaya agar identitas kesenian yang mereka miliki, tidak punah ataupun jadi tinggal kisah lisan saja.

Aspek pewarisan harus sesegera mungkin dilakukan di ruang sanggar seni. Sekali lagi, hal ini demi keberlangsungan ekosistem kesenian di wilayah mereka. Apalagi, aspek tersebut sejalan dengan salah satu objek pemajuan kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017, yaitu tradisi lisan dan seni.

Semoga dengan berangkat dari niat yang tulus, impian Kak Iwan dan masyarakat sekitar untuk memiliki sanggar seni segera terwujud. Baik melalui peran pemerintah maupun dengan menciptakan ruang alternatif yang sifatnya mandiri. (selesai) (rin)

*Tulisan kiriman pembaca Diplomasi.republika.co.id. Isi tulisan dan konten sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

* Kontak kami: diplomasi@rol.republika.co.id

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image