Sajak Taufiq Ismail Tentang Palestina
Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu
Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamartidurku
bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan mengepulkan debu berdarah,
Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat
sebesar saputangan lalu Tel Aviv dimasukkan dalam fail lemari
kantor agrarian, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan
khatulistiwa, yang dirampas mereka,
Ketika kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah
tanah dan sepatusepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita
semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil
belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun silam, di bawahnya ada kolam ikan
yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi
air
mataku,
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu,
Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan umur mereka,
menjawab laras baja dengan timpukan batu Cuma, lalu dipatahi
pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang tak menjerit serasa
anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi mereka – tapi saksikan
tulang mudah mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan
rantai amat panjangnya, pembelit leher lawan mereka, penyeret
tubuh si zalim ke neraka,
Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-Qassem, Harun Hashim
Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami semua berdegup dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu, darah kami pun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi
‘Allahu Akbar!’
dan
‘Bebaskan Palestina!’
Ketika pabrik tak Bernama 1000 ton sepekan memproduksi dusta,
menebarkannya ke media cetak dan elektronika, mengoyaki
tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara,
membangkangi resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia,
membantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser Arafat,
Ahmad Yassin dan semua pejuang negeri anda, aku pun
berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at sedunia: doakan
kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang
menapak jalanNya, yang ditembaki dan kini dalam penjara,
lalu dengan kukuh kita bacalah
‘la quwwatta illa bi-Llah!’
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur kilometernya beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha begitu merdu
Serasa terngiang-ngiang di telingaku.
1989
---
Taufiq Ismail adalah salah satu penyair Indonesia yang dianggap sebagai tokoh sastrawan Angkatan ’66. Ia tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga guru dan wartawan sehingga memiliki minat baca yang baik. Sejak SMA, ia sudah bercita-cita menjadi seorang sastrawan, tetapi menempuh pendidikan tinggi sebagai dokter hewan dan ahli peternakan. Sebagai seorang penyair, ia memulainya pada saat menulis sajak-sajak demonstrasi yang yang terkumpul dalam Tirani dan Benteng tahun 1966. Ia juga pernah dibatalkan melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) karena ikut menandatangani Manifes Kebudayaan. Karya-karya sajaknya sudah banyak dipublikasikan. Beberapa di antaranya sering kali dimusikalisasikan oleh grup musik Bimbo.
Puisi di atas dikutip dari bukunya yang berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia: Seratus Puisi Taufiq Ismail (2000). (lur)