Mengenal Warga Kristen di Gaza
DIPLOMASI REPUBLIKA, GAZA – Serangan militer Israel terhadap Gaza menyebabkan kematian ribuan orang, termasuk hancurnya bangunan vital. Salah satu momen saat serangan Israel menargetkan al-Ahli Arab Hospital pada 17 Oktober 2023, yang menyebabkan hampir 500 orang meninggal dunia.
Dua hari berselang, Israel mengebom Gereja Saint Porphyrius, gereja tertua di Gaza yang membuat setidaknya 18 orang kehilangan nyawa. Serangan mematikan pada rumah sakit Kristen Anglikan itu dan gereja ortodoks Yunani itu menunjukkan terdapat masyarakat Kristen di Gaza.
Mereka juga mengalami dampak pengeboman yang dilakukan oleh Israel. Jumlah pemeluk Kristen di Gaza menyusut pada beberapa tahun terakhir. Saat ini hanya sekitar 1.000 orang dari 2,3 juta penduduk, menurun drastis dari semula 3.000 orang merujuk data pada 2007.
Saat Hamas mulai menjalankan pemerintahan di Gaza, Israel kemudian melakukan blokade udara, darat, ataupun laut. Kondisi ini memicu warga Kristen untuk meninggalkan wilayah yang sampai saat ini dibalut kemiskinan akibat blokade Israel tersebut.
‘’Blokade membuat warga (Kristen) sangat sulit hidup di Gaza,’’ ujar Kamel Ayyad, juru bicara Gereja Saint Porphyrius seperti dilansir laman berita Aljazirah, Rabu (1/11/2023). Sebagian besar warga Kristen Gaza pergi ke Tepi Barat, Amerika, Kanada, atau negara Arab lainnya.
Mereka, menurut Ayyad, mencari pendidikan dan layanan kesehatan yang lebih baik. Mayoritas pemeluk Kristen berasal dari Gaza sendiri. Sisanya, mereka yang meninggalkan rumahnya di wilayah lain karena Nakba yang menyebabkan 700 ribu warga mengungsi setelah berdiri Israel.
Bagaimana komposisi pemeluk Kristen di Gaza? Mayoritas adalah pemeluk Kristen Ortodoks Yunani. Sedangkan jumlah yang lebih sedikit, mereka yang beribadah di Catholic Holy Family Church dan Gaza Baptist Church. Meski demikian, mereka sangat cair.
Maksudnya, di banyak keluarga komunitas Kristen di Gaza, terdiri atas beberapa denominasi. Fadi Salfiti, misalnya, yang keluarganya meninggalkan Nablus, Tepi Barat ke Gaza pada 1948, menjalankan ibadah di semua gereja.
‘’Di Minggu pagi, kami pergi ke gereja Ortodoks, sorenya kami ke gereja Katolik, dan malam harinya kami menjalankan peribadatan di gereja Protestan,’’ kata Salfiti. Saat terjadi serangan darat oleh Israel pada 2008, ia sedang menghadiri konferensi pemuda di Madrid, Spanyol.
Saat ini, ia masih berada di Spanyol, bekerja sebagai trainer di bidang manajemen. Serangan Israel terhadap Gereaja Saint Porphyrius menyebabkan kematian tiga anak dari sepupunya, yaitu Majd (10), Juli (12), dan Suhail (14).
Saint Porphyrius merupakan gereja tertua di Gaza. Gereja ini dibangun pada abad kelima setelah kematian uskup ternama saat itu yang berhasil mengubah kota pagan menjadi Kristianitas, membakar berhala dan kuil penyembahan.
Hidup di bawah pengepungan Israel, warga Kristen di Gaza membuktikan semangat solidaritas dalam perjuangan untuk bertahan dan mewujudkan kemerdekaan. ‘’Kami semua warga Palestina, hidup di kota yang sama dan mengalami penderitaan yang sama,’’ ujar Ayyad.
Saat terjadi gempuran Israel, Kristen dan Muslim berlindung di Saint Porphyrius. Setelah pengeboman terhadap gereja itu, mereka pindah ke Holy Family Church, berjarak sekitar 400 meter. Nisreen Anton, manajer proyek gereja, menyatakan 560 orang berlindung di sana.
Sejumlah pejabat Palestina menyatakan, setidaknya 500 Muslim dan Kristen berlindung di gereja ortodoks Saint Porphyrius dari serangan bom Israel. ‘’Kami mengecam keras serangan udara Israel yang menghantam kompleks geraja di Gaza,’’ demikian pernyataan gereja.
Kementerian Kesehatan di Gaza menyatakan, sebanyak 16 warga Kristen Gaza meninggal dalam insiden itu.
Pimpinan paroki, Gabriel Romanelli, masih tertahan di Bethlehem sejak perang terjadi dan masih tetap kontak dengan mereka yang ada di Gaza. Dalam pesan yang direkam 24 Oktober lalu, ia mendesak pengeboman dihentikan dan koridor kemanusiaan dihentikan.
‘’Saya berharap mereka tahu ini adalah gereja, yang diisi oleh warga biasa dan tetangga kami yang Muslim. Mereka orang-orang sipil yang tidak membahayakan siapa pun,’’ katanya.
Nisreen Anton menyatakan merasakan penderitaan bersama warga Palestina lainnya di Gaza, dan ia memutuskan tetap di sana. Berlindung di gereja bersama tiga anak perempuannya, ia menuturkan situasinya setiap hari semakin buruk.
‘’Warga Kristen Gaza menderita seperti warga Gaza lainnya. Ini tanah kami dan kami tak akan meninggalkannya. Dapatkah Anda bayangkan, seseorang menyeru dan memaksa Anda dan keluarga untuk pergi ke tempat lain? Kami akan tetap tinggal di sini,’’ ujar Anton. (fer/reuters)