Abah Yayat dan Alunan Keresahan Tarawangsa Sumedang

Corner  
Abah Yayat memamerkan koleksi alat musik Sunda miliknya, yang biasa digunakan dalam pertunjukan seni tarawangsa (foto koleksi Tim UI)
Abah Yayat memamerkan koleksi alat musik Sunda miliknya, yang biasa digunakan dalam pertunjukan seni tarawangsa (foto koleksi Tim UI)

Oleh: Syahrial*, Pemerhati Warisan Budaya Takbenda, Pakar Filologi Melayu, Dosen Kajian Tradisi Lisan (Budaya Pertunjukan) Universitas Indonesia

Diplomasi.republika.co.id-- Lelaki tua itu dengan hati-hati mengeluarkan berbagai alat musik tradisional Sunda miliknya. Salah satunya, sebuah rebab jangkung yang sudah lawas. Alat musik ini adalah perangkat utama pertunjukan seni Tarawangsa, selain kecapi bersenar tujuh. Dengan penuh penghayatan, lelaki yang masih gagah pada usia tuanya itu kemudian menunjukkan kepiawaiannya dalam memainkan alat musik bersenar dua itu. Permainan berselang-seling dengan aneka cerita seputar sejarah Tarawangsa hingga menjadi bagian dari masyarakat Rancakalong sekarang.

Dari gaya bicaranya, pengetahuan Abah Yayat, panggilan sehari-harinya, tampak luas sekali hingga sekelompok mahasiswa Universitas Indonesia yang sore itu berkunjung ke rumahnya, berdecak kagum. Kehadiran para mahasiswa di sana dalam rangka melakukan survei mengenai situasi terkini seni tradisi di wilayah Kabupaten Sumedang. Jadi, wajar apabila atensi mereka terhadap uraian Abah Yayat menjadi perhatian dan catatan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Menurut sang seniman, Tarawangsa adalah seni tradisi tertua di Sumedang, khususnya di Rancakalong. Kesenian Tarawangsa biasanya ditampilkan dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ritual panen padi. Perayaan itu diselenggarakan sebagai wujud syukur masyarakat kepada Yang Mahakuasa karena telah memberikan hasil panen yang berlimpah. Pada saat acara syukuran dilangsungkan, para petani membawa aneka makanan yang dibuat dari hasil pertanian mereka untuk diberi doa, yang kemudian dinikmati bersama. Tidak lupa juga sajian buah-buahan.

Orang yang membacakan doa-doa biasanya adalah sesepuh atau tokoh agama yang khusus bertugas untuk itu. Setelah doa-doa didaraskan, rebab dan kecapi pun dimainkan. Seketika bunyi-bunyi yang berbau mistis menggema dengan lembut mengisi seluruh ruangan, bersama asap dupa yang dinyalakan. Pada saat itu, satu per satu penari maju ke tengah lingkaran, menari sesuai dengan gerak batin masing-masing hingga beberapa di antaranya mengalami trance.

Menurut Abah Yayat, Tarawangsa merupakan kependekan dari Tatabeuhan Rakyat Wali Salapan atau alat musik pukul milik rakyat yang berasal dari wali sembilan. Karena itu, menampilkannya tidak boleh asal-asalan atau sekadar pertunjukan belaka. Bagi masyarakat Sumedang, khususnya yang tinggal di Rancakalong, Tarawangsa merupakan salah satu kesenian sakral yang memiliki nilai magis tinggi.

Kesakralan yang melekat pada seni tradisi Tarawangsa terletak pada keberadaan seni itu sendiri, yang pernah dijadikan sebagai wahana penyebaran agama Islam para wali di tanah Pasundan. Dengan latar belakang sejarah itu, para pemain musik Tarawangsa dan hadirin yang akan ikut menari, harus berwudhu dan merapalkan dua kalimat syahadat terlebih dahulu. Ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para leluhur mereka ketika melaksanakan ritual panen padi pada masa lalu. (bersambung)

*Dosen pendamping Program Kepedulian Masyarakat UI dalam “Pendokumentasian dan Pemetaan Seni Tradisi Kabupaten Sumedang” oleh Ditmawa UI tahun 2021.

* Tulisan kiriman pembaca Diplomasi.republika.co.id. Isi tulisan dan konten sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis

* Kontak kami: diplomasi@rol.republika.co.id

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image