Hidup Berdampingan dengan Gajah di Way Kambas

Corner  
Gajah patroli (Foto TFCA-Sumatera-ERU TNWK)
Gajah patroli (Foto TFCA-Sumatera-ERU TNWK)

Oleh: Yudha Arif Nugroho, seorang pegiat lingkungan, yang saat ini bekerja untuk Tropical Forest Conservation Action (TFCA) sebagai Knowledge Management and Data Analyst. Pria kelahiran Magelang ini hobi membaca, traveling, dan masih terus mengasah kemampuannya dalam menulis.

Diplomasi.Republika.co.id--Yuwono tampak berdiskusi dengan rekan-rekan sesama petani. Ada sedikit rasa kekecewaan yang terpancar dari mimiknya. Bagaimana tidak, semalam (28/3/2022), ada rombongan gajah liar yang berjumlah 17 ekor melintasi ladangnya. Ketika itu, dia dan petani lain sedang berjaga-jaga di gubuk, tiba-tiba segerombolan gajah tersebut memasuki ladangnya.

Yuwono (pertama dari kiri) sedang menceritakan pengalaman tadi malam tentang gangguan gajah yang masuk ke ladangnya. (foto TFCA-Sumatera)
Yuwono (pertama dari kiri) sedang menceritakan pengalaman tadi malam tentang gangguan gajah yang masuk ke ladangnya. (foto TFCA-Sumatera)

Memang ladangnya tak terlalu jauh dengan Taman Nasional Way Kambas (TNWK), hanya dibatasi oleh tanggul (sungai kecil). Praktis kebunnya menjadi tujuan pertama para gajah. Malam itu, dia memang sempat yakin bahwa dengan berbagai cara dia akan menjaga ladangnya dari gangguan gajah.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sayangnya, ketika gajah mulai masuk dan memakan jagung di tanahnya, keadaan sudah tidak bisa dikendalikan. Cukup sulit untuk menghalau mamalia besar itu. Bunyi-bunyian dari mercon yang dibawanya pun sudah tidak mempan.

Pada akhirnya, Yuwono harus mengikhlaskannya. Daripada semakin dihalau, semakin banyak tanamannya yang dimakan, lebih baik membiarkannya sampai mereka pergi dengan sendirinya. Yuwono tahu bahwa ketika gajah itu telah masuk ke ladangnya dan memakan hasil buminya, maka dengan cara apa pun akan sulit untuk dihalau.

Ilustrasi, kawasan taman nasional (kiri) dan ladang masyarakat (kanan) hanya dibatasi tanggul sehingga kawanan gajah dapat menyeberang. (foto TFCA-Sumatera)
Ilustrasi, kawasan taman nasional (kiri) dan ladang masyarakat (kanan) hanya dibatasi tanggul sehingga kawanan gajah dapat menyeberang. (foto TFCA-Sumatera)

Yuwono tak sendiri, masih ada beberapa ladang kawan-kawannya di Desa Tambah Dadi yang malam itu dilewati oleh gajah. Ketika sudah demikian, hanya ikhlas yang akhirnya bisa mereka upayakan.

Mereka sadar bahwa mereka hidup di pinggiran taman nasional yang menjadi rumah bagi gajah dan satwa liar yang lain. Mereka tahu bahwa gajah dilindungi oleh negara. Ikhtiar yang bisa mereka lakukan adalah hanya berjaga setiap malam sambil menunggu info dari petugas TNWK soal posisi gajah-gajah itu.

Ladang jagung warga yang telah dilalui gajah liar. (foto TFCA-Sumatera)
Ladang jagung warga yang telah dilalui gajah liar. (foto TFCA-Sumatera)

Selain Yuwono, ada juga Edi Sulaiman yang juga hampir setiap malam bersigap dan bersiaga. Bulan Maret ini memang mereka harus lebih rutin untuk berjaga. Sebab saat itu adalah musim jagung berbuah. Jagung merupakan salah satu makanan favorit gajah.

Pria 38 tahun ini tak mau pengalamannya pada akhir tahun 2021 terulang. Waktu itu dia dan sebagian petani terpaksa harus gigit jari karena hasil panennya telah didahului gajah.

Edi dan kawan-kawannya berjaga dengan membawa alat sederhana, seperti mercon kembang api, senter, dan sirine atau speaker. Suara mercon kembang api mereka gunakan untuk menakut-nakuti gajah. Hal serupa juga dengan sirine, utamanya dipakai untuk menakut-nakuti gajah, tetapi di samping itu digunakan untuk memberikan sinyal kepada warga lain yang berjaga bahwa gajah telah datang.

Edi, ketua Satgas Tegal Ombo membawa sirine untuk menghalau gajah di gubuk jaganya.(foto TFCA-Sumatera)
Edi, ketua Satgas Tegal Ombo membawa sirine untuk menghalau gajah di gubuk jaganya.(foto TFCA-Sumatera)

Berdasarkan pengalaman ketua Satgas Tegal Ombo ini, gajah memang takut dengan bunyi-bunyian. Semakin ramai bunyi-bunyian maka gajah akan menjauh. Tetapi, usaha itu sia-sia jika gajah telah sampai dan memakan tanaman di ladang.

Menurut Ketua Harian FRDP, Suyuti (68), intensitas gangguan gajah ke ladang masyarakat mulai naik setelah program Tata Liman dari pemerintah pada 1984. Program ini merupakan program translokasi gajah yang berkonflik dengan masyarakat di sekitar Lampung dan dipindahkan ke TNWK.

Kawanan gajah di TNWK (foto TFCA-Sumatera)
Kawanan gajah di TNWK (foto TFCA-Sumatera)

Sebagian gajah tersebut dimasukkan ke PLG/PKG (Pusat Pelatihan Gajah/Pusat Konservasi Gajah). Sejak saat itu sampai kini konflik gajah dan manusia masih terus ada.

Dahulu, awalnya masyarakat represif terhadap kasus kejadian tersebut. Hasilnya, baik dari manusia maupun gajah telah menjadi korbannya.

Namun kini, masyarakat telah mulai sadar tentang arti hidup berdampingan dengan gajah. Ini tak lepas dari perjalanan panjang TNWK bersama para pihak, yang berupaya mengubah persepsi masyarakat.

Mereka bersama-sama melakukan edukasi dan penyadartahuan kepada masyarakat, mencarikan strategi untuk meminimalisasi dampak konflik, dan memberikan ekonomi alternatif untuk masyarakat. Salah satu dari sekian upaya tersebut dilakukan oleh Forum Rembug Desa Penyangga (FRDP) TNWK.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image